Kamis, 10 April 2008

Hasan Al-Bashari


Lahir 2 tahun sebelum akhir masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab ra. Ia tidak termasuk sahabat Rasulullah, tetapi tingat ketakwaannya, kecerdasannya, kefaqihannya, sifat wara’ dan zuhdnya, setaraf dengan para sahabat Rasulullah. Salah seorang sahabat (yang empat hidup pada masanya) berkata, “Andaikan Hasan Al-Bashris empat hidup pada masa sahabat Rasulullah tentu mereka (para sahabat butuh pendapatnya).
Ibu Hasan Al-Bashri adalah pembantu Ummu Salamah, istri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Para ahli sejarah menghubungkan kefasihannya dalam berbicara dan kecerdasannya dengan penyusuannya kepada Ummu Salamah.
Hasan Al-Bashri dibesarkan di Wasi Al-Qura, biasa bergaul dengan Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan sejumlah sahabat Rasulullah lain. Beliau menerima hadits dari mereka. Perkembangannya sangat pesat sehingga banyak pandangan mata tertuju kepadanya karena keindahan takwil dan ketelitian pehamannya terhadap Al-Qur’an. Beliau hidup sebagai ahli ibadah, wara’, takwa, shalat wajib tepat waktu, dan mengirinya dengan shalat sunnah, puasa sunnah, dan tidak mencukur jenggot, dan memakai surban hitam untuk meneladani Rasulullah pada hari Penakhlukkan Mekah.
Ketinggian ilmu dan pemahamnnya terhadap agama mencapai tingkat tinggi ketika beliau berada di Mekah. Banyak orang bertanya kepada beliau tentang berbagai masalah agama yang tidak dikuasai mereka. Dalam hal ini ulama Mekah dan tokoh pilihan mereka berkata, “Kami belum tahu hal semacam itu sama sekali. Pendapatnya menyerupai pendapat Umar bin Al-Khatthab.
Sebagian dari masalah yang sering dibicarakannya dalam majlis ilmiah yangs esuai dengan hadits Rasulullah adalah, “Hai anak Adam, janganlah kamu rela dengan murka Allah. janganlah kamu taan kepada seseorang untuk bermaksiat kepada Allah. Janganlah kamu memujis seseorang di atas keutamaan Allah. dan janganlah kamu menecerca seseorang yang tidak memberimus sesuatu. Sesungguhnya Allah Pencipta sekalian alam. Laluilah hidupnya ssuai dengan yang diciptakannya kepada mereka. Barangsiapa menyangka bahwa Allah akan menambahnya kaya karena ketamakannya maka usianya ditambah karena karena ketamakannya. Begitulah dengan warna kulit dan segenap anggota tubuhnya.”
Hasan Al-Bashri selalu menjaga kebersihan hatinya dengan berdoa kepada Allah setiap selesai dari percakapannya dan berdiri dari majlisnya. ‘Ya Allah, sucikanlah hati kamid ari sikap sombong, nifak, riya’, ingin popule, syak, dan wawas terhadap agama-Mu. Wahai yang memblak-balikkan hati, tehkanlah hati kami terhadap agama-Mu. Tetapkanlah bagi kami agama Islam.
Beliau pernah ditanya mengenai akhlak ahli fiqih, “Seorang fakih adalah orang yang tida k mengambil upah atas ilmuinya. Tidka mempedulikan keadaan orang yang diatasnya, dan tidak merendahkan keadaan orang yang ada di bawahnya.
Hasan Al-Bashri selalu menjaga persatuan dan kasih sayang ummat Islam. sebab beliau memandang bahwa perdamaian antar putra-putra ummat Islam merupakan nikmat yang termahal dari Allah. Kasus Hajjaj At-Tsqafi yang terkenal sebagai orang yang selalu menumpahkan darah kaum Muslimin tanpa rasa kasihan. Membunuh musuh-musuhnya tanpa melalui keputusan mahkamah. Membelanjakan kekayaan ummat Islam ke jalan yang dimurkai Allah.
Di sini para ulama ingin sekali membunuhnya tapai beliau mencegahnya dan berkata, “Janganlah kamu membunuhnya kecuali jika ia menyatakan kufur kepada Allah dan mengingkari sati dari berbagai sendi-sendi agama yang pokok. Metode bepikir seperti ini membuat ulama yang hisup pada masanya, menjalankan dakwah dengan penuh toleransi, persatuan, dan kasih sayang di antara kaum Muslimin.
Begitulah Hasan Al-Bashri (ahli fiqih, ahli ibadah, dan zuhud. Hidup dengan ajakan cinta dan damai di tengah-tengah ummat pada masanya.
Lidahnya tidak bergerak kecuali dengan zikir dan kakinya tidak berjalan kecuali melalui jalan keridhannya. Jantungnya tidak berdetak kecuali dengann cinta kepada Allah. Beliau hidup untuk Allah dan karena Allah sampai wafatnya. Semoga Allah memberinya rahmat dan ampunan kepada beliau.

Senin, 07 April 2008

MENANTI QIYADAH RABBANIYAH


Salah satu solusi Islam bagi persoalan Palestina adalah menjadikannya sebagai issu sentral (qadhiyyah markaziyyah). Tidak hanya mencakup wilayah regional bangsa Palestina atau Dunia Arab yang hingga kini tidak berdaya melawan hegemoni bangsa Yahudi. Sebuah issu global yang mencakup ummat Islam di seluruh penjuru dunia dan seluruh gerakan Islam.

Sentralisasi issu ini bukan rekayasa manusia atau bangsa Palestina untuk menggeralisir persoalan mereka agar mendapatkan simpati dunia. Jauh sebelum itu, dan dari langit ke tujuh Allah telah menjadikan persoalan Palestina dan Baitul Maqdis sebagai issu global. Setidaknya Allah menyebutkan Palestina dalam enam ayat Al-Qur’an. Ada beberapa indikasi bahwa persoalan Palestina dan Masjidil Aqsha adalah persolan semua ummat Islam

Pertama, Allah menjadikan bumi Palestina sebagai bumi yang diberkahi. Sebagaimana yang difirmankan dalam dua ayat (71 dan 81) dari surat Al-Anbiya’.
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (Al-Anbiya’: 71)
“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anbiya’: 81)

Kedua, Allah menjadikan Baitul maqdis sebagai tempat suci. Setelah Allah memerintahkan Ibrahim dan Ismail untuk memugar bangunan Ka’bah sebagai tempat beribadah kepada Allah, empat puluh tahun kemudian Allah memerintahkan Dawud untuk membangun masjid Al-Aqsha dengan fungsi yang sama, tempat manusia beribadah kepada Allah. Bagi semua manusia dan bukan bangsa Palestina semata.

Ketiga, bahwa bumi Palestina adalah milik Ibrahim. Dan Allah tidak membatasi pewarisannya kepada bangsa dan kaum tertentu, tapi semua orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala. Allah berfirman,

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 67-68).

Allah menentukan nabi Muhammad dan orang-orang beriman bersamanya sebagai pewaris agama Ibrahim berikut negerinya.

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” (Al-Anbiya’: 105).

Adz-Dzikr yang dimaksud adalah Taurat dan bumi yang dimaksud adalah bumi Palestina.

Jadi, persoalan Palestina dengan Al-Quds dan Masjidil Aqshannya bukan persoalan orang-orang Palestina dan bukan issu regional. Namun ia adalah persoalan sentral seluruh kaum Muslimin.

Ketika Rasulullah menjalani peristiwa Isra’ dan Mi’raj, semua nabi dikumpulkan di Masjidil Aqsha dan beliau sebagai imam mereka. Sebuah simbol pewarisan bumi Palestina kepada nabi terakhir, Muhammad saw. beserta pengikutnya.

Semenjak itu beliau mencurahkan segenap perhatiannya untuk Masjidil Aqhsa. Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, “Bahwa Rasulullah tidak tidur sampai beliau membaca surat Az-Zumar dan Bani Israil.”

Sebab surat Bani Israil atau Al-Isra’ berbicara banyak tentang Palestina dan Masjidil Aqsha. Jika surat Al-Isra turun sebelum hijrah dan peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi tiga tahun sebelum hijrah, artinya tiga belas tahun beliau memberikan perhatian dan perjuangan untuk Palestina dan Masjidil Aqsha.

Beliau memberi perhatian kepada Baitul Maqdis pada siang dan malam.

Allah telah menjadikan persoalan Palestina sebagai issu sentral kaum Muslimin. Sebagai pengikut Muhammad, hendaknya kaum Muslimin menjadikan puncak perhatian dan perjuangan mereka adalah membebaskan bumi Palestina dan cengkraman imperialisme Yahudi.

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31).

Perhatian Rasullullah kepada Palestina tidak terbatas pada tataran teori atau retorika. Beliau tunjukkan perhatiannya dalam tataran amal dan jihad. Sebagian besar perang dan delegasi militer yang beliau kirim mengarah ke Baitul Maqdis. Di antaranya perang Mu’tah dan perang Tabuk yang beliau pimpin sendiri. Bahkan, sebelum meninggal beliau menyiapkan pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk berangkat menuju Palestina dengan tujuan membebaskan Masjidil Aqsha. Akhirnya rencana itu direalisasikan Abu Bakar.

Mengapa gerakan Islam tidak memandang masalah Palestina sebagai issu sentral? Mengapa Dunia Islam membiarkan bangsa Palestina berjuang sendirian. Mengapa di antara 400 ribu kader PKS tidak ada sepuluh orang pun yang berjuang untuk membebaskan Masjidil Aqsha? Yang mencurahkan segenap perhatian, usaha, dan pengorbanan untuk Masjidil Aqsha?

Qiyadah Rabbaniyyah
Palestina hanya mungkin bisa dibebaskan oleh para qiyadah rabbaniyah dan tentara rabbani. Jika kita membaca Al-Qur’an, sunnah, dan sejarah. Palestina pernah dibebaskan selama tiga kali.

Pertama oleh Thalut dan Dawud sebagaimana yang dikisahkan surat Al-Baqarah. Yang kedua oleh para sahabat pada zaman kekhalifahan Umar bin Khatthab. Dan yang ketiga oleh Shalahuddin Al-Ayyubi.

Ketiga periode pembebasan dan ketiga generasi qiyadah tersebut memiliki syarat dan sifat yang sama. Tiga karakter utama yang mereka adalah; Allah memilih mereka (ishthafa), kekuatan ilmu (basthatun fil ilmi), dan fisik (basthatun fil jasad). Allah berfirman,

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?’ (Nabi mereka) berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247).

Ishthifa’
Sifat pertama dan asasi ini dimiliki seseorang manakala ia memiliki kedekatan dengan Allah dengan kuantitas dan kualitas ibadahnya. Meleburkan diri dan semua usahanya dalam kancah ibadah kepada Allah. Maryam adalah wanita pilihan Allah karena ketaatan dan ibadahnya kepada Allah.

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (Ali Imran: 42).

Maryam memiliki sifat-sifat rabbani yang terwujud dalam ketaatan, sujud, dan ruku’nya. Di surat yang sama ayat 37 Allah mengisyaratkan kontinuitas ibadah Maryam di dalam mihrab Masjidl Aqsha dengan kosa kata ‘kullama’ yang berarti banyak dan sering. Ia sering berada di mihrab untuk beribadah kepada Allah.

Nabi Musa dipilih Allah karena memiliki ciri-ciri rabbani. Setelah Musa menerima janji dari Allah untuk beribadah selama tiga puluh malam lalu digenapkan dengan empat puluh malam (Al-A’raf: 142). Setelah itu Allah berfirman,

“Allah berfirman, ‘Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Al-A’raf: 144).

Nabi Dawud menjadi qiyadah setelah terlebih dahulu memiliki ciri-ciri rabbani. Di antara warisan ibadah yang kemudian diabadikan dalam sunnah Muhammad saw. adalah puasa sunnah dan qiyamul-lail. Rasulullah saw bersabda,

“Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat (malam) yang disukai Allah adalah shalatnya Dawud, ia tidur separonya, shalat sepertiganya, dan tidur seperenamnya.” (Bukhari).

Dengan sifat-sifat rabbani inilah nabi Dawud mendapatkan tiga kemuliaan, qiyadah, kenabian, dan kerajaan. Bersama Thalut dan tentaranya yang berjumlah 314 pasukan dapat mengalahkan pasukan Jalut yang lebih besar jumlah mereka. Jumlah yang sama saat kaum Muslimin mengalahkan orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar.

Sifat-sifat rabbani inilah yang asasi sementara kedua sifat yang lain sekunder. Pertolongan Allah akan turun manakala qiyadah dan jundiyah memiliki sifat-sifat rabbani. Kendatipun secara kuantitas jumlah mereka sedikit. Terbukti di antara sekian banyak tentara Thalut, yang lulus ujian ‘air sungai’ hanya sedikit, sementara yang lain berpaling dari kancah perang.

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249).

Kesalahan yang dilakukan banyak gerakan Islam adalah ketika mereka memprioritaskan faktor-faktor sekunder ketimbang sifat-sifat asasi. Saat kapabelitas, kekuatan pribadi, ilmu, spesifikasi, pengalaman (basthatun fil ilmi), kemampuan manajerial (basthatun fil jasad) menjadi prasyarat utama untuk menentukan siapa yang berhak menempati jabatan tertentu dalam dakwah, politik, ekonomi, dan lain-lain. Akibatnya, terjadilah fitnah di dalam barisan dakwah, cinta dunia, dan perpecahan internal tak terelakkan lagi. Akhirnya, lemahlah kekuatan dan gagal mencapai tujuan.

Lawan-lawan Islam mempunyai banyak keunggulan SDM dan dana. Jika gerakan Islam tidak memprioritaskan sifat-sifat rabbani, maka dengan apa bisa dibedakan dari qiyadah lawan-lawannya? Dan dengan apa dapat mengungguli mereka?

Adalah generasi As-Sabiqunal Awwalun dari para sahabat Nabi. Di mana mereka melakukan Tadrib Rabbani dalam shalat malam semalam penuh sampai setahun lamanya. Ternyata mereka menjadi qiyadah tangguh dan tidak goyah di saat fitnah banyak menimpa.

Ibnu Umar menuturkan bahwa ia mempunyai kebiasaan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari dalam qiyamul lail. Sama dengan yang dilakukan Abu Bakar.

Lalu, dengan sifat yang sama qiyadah dan jundiyah yang akan membebaskan Al-Aqsha untuk keempat kalinya. Seperti sifat-sifat yang dimiliki Thalut beserta Dawud, sahabat pimpinan Umar, dan Shalahuddin Al-Ayyubi. Allah berfirman,

“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (Al-Isra’: 5).

Orang-orang yang mempunyai kekuatan besar dan meraja lela di kampung-kampung itu adalah mereka yang memiliki sifat-sifat ubudiyah (ibadan lana). Dan tanpa sifat-sifat ubudiyah itu mereka tidak akan memiliki kekuatan yang besar dan meraja lela di kampung-kampung.

Orang-orang yang membebaskan Masjidil Aqsha dan berada di barisan depan mengusir Zionis adalah Rabbanitun dan Rabbaniyat. Mereka biasa mendengar perkataan (Allah) dan selalu mengikuti yang terbaik. Rasulullah mengajarkan doa kepada kita,

اَللَّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَكَ
“Ya Allah, angkatlah orang pilihan-Mu sebagai pimpinan kami.”
(Disadur dari ceramah DR. Othman Rushdi)
Wallahu A’lam.