Senin, 02 Februari 2009

Agama Cinta dan Religio Perennis

‘AGAMA CINTA’ DAN RELIGIO PERENNIS

Oleh: Syamsuddin Arif (Peneliti di INSIST Kuala Lumpur)

Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi, mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!” laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-dinu, wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”, sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah, faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”
Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran, lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)? Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit, dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara).”
Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari'at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi, seraya mengutip hadis Rasulullah, “Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku (Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).” Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap agama pra-Islam.
Ironisnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, tokoh Sufi yang berasal dari Andalusia ini oleh sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’ sebagai pelopor gagasan Islam inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’ untuk menjustifikasi ide pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh tasawuf ini bahkan ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb). Dengan kata lain, seperti diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan, hal. xix), “Setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama.” Sebagaimana kita ketahui, pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini nampak mulai mendapat tempat di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.” Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), Nasr menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sekilas memang nampak meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya kaum transendentalis [sengaja?] tidak mengemukakan---kalau bukan justru menyembunyikan---fakta bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!---niscaya Allah akan mencintai kalian.” Dan memang dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi dengan gamblang menerangkan apa yang beliau fahami tentang cinta dalam ayat tersebut. Berdasarkan objeknya, terdapat empat jenis cinta, kata beliau: (1) cinta kepada Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual (hubb ruhani); (3) cinta alami (hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta material (hubb ‘unsuri). Setelah menguraikan tipologi cinta tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang beliau maksudkan adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw., dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Selain bait puisi di atas, kaum Transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat di‘plintir’ to serve their own purposes. Ini biasanya disertai dengan tafsiran seenaknya yang sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok tahu’an belaka dan murni reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap dalam kalimat “perhaps Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn Arabi might reply” dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to Religious Diversity” dalam buku Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart, Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991). Lebih parah lagi---dan ini yang perlu diwaspadai dan dikritisi---adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks yang tidak mendukung asumsi mereka. Sebagai contoh, ketika mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab ) yang mengungkapkan pendapat Ibnu Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh. “All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation---that is the opinion of the ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity, New York: State University of New York Press, 1994, hlm.125).
Dengan [sengaja?] berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing---yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan sampai sekarang. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36). Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha menggiring pada para pembaca agar meyakini bahwa Ibnu Arabi adalah seorang penganut pluralisme dan transendentalist seperti dirinya. Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau” (Fa raja‘at ath-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa law kanat ar-rusul fi zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).
Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (QS al-Ma’idah 48: likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan) . Menurut Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua dalam bentuk jamak (“kum”) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Dan jika kata “kalian” disitu difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama. Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya Nabi saw. tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tak disebut kafir (QS 2:217) dan niscaya tidak keluar perintah membunuh orang yang murtad (hadis: “man baddala dinahu fa-qtuluhu”). Oleh sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Selengkapnya dapat dilihat di Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).

Khusyu' dalam Shalat



Shalat adalah ibadah utama di dalam syariah Islam. Karena ia menjadi barometer semua amal ibadah hamba dan menjadi amal pertama yang diminta pertangung-jawabannya di hari Kiamat nanti. Maka meningkatkan kualitas shalat adalah suatu keniscayaan bagi seorang hamba agar ia mendapat jaminan keselamatan di akhirat. Baik dari sisi keikhlasan, ihsan, thuma'ninah, dan khusyu'

Maka khusyu' dalam shalat merupakan upaya yang harus selalu ditingkatkan.
Khusyu' adalah menghadirkan hati ketika beribadah. ketika hati seseorang dipenuhi dengan makna apa-apa yang ia dengan, apa-apa yang ia katakan, maka ia telah benar-benar dalam kondisi khuysu'. Khusyu' dalam shalat inilah yang sangat penting, karena:
1. Khusyu' dalam shalat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseorang dalam hidupnya di dunia dan akhirat.
قد أفلح المؤمنون الذين هم في صلاتهم خاشعون
"Sungguh beruntung orang-orang beriman, yatitu mereka yang khyusu' dalam shalat mereka " (al-Mukminun: 1-2)

2. Jika shalat seseorang baik, pengaruhnya akan dirasakan dalam kehidupan
سيماهم فى وجوههم من أثر السجود
"Tanda-tanda mereka nampak di wajah mereka karena bekas sujud.” (Al-Fath: 29)

3. Shalat yang baik berdampak kepada perilaku.
إن الصلاة تنهى عن الفحثاء والمنكر
"Sesungguhnya shalat bisa mencegah pebuatan keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 29).
4. Khusyu' dapat mempermudah untuk membersihkan hati
5. Orang yang khusyu' dalam shalatnya akan mendapatkan kedekatan dengan Allah.
وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضته عليه ..

"Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (ibadah) yang aku wajibkan kepadanya…” (Bukhari)

Cara mendapatkan khusyu'

Sebelum Shalat
1. Seorang muslim hendaklah mengetahui sifat-sifat Allah. Mengentahui sang pencipta dapat membantu kita sebagai hamba yang lebih baik dan juga menambah kecintaan dan keimanan kepada Allah
2. Menghindari dosa-dosa kecil dan besar dan mempermudah hati kita menerima hidayat dari Allah dan juga dapat melembutkan hati.
3. Sering-sering membaca Alquran, karena hal ini dapat melembutkan hati. Hati yang keras tidak akan mungkin untuk dapat khusyu'
4. Janganlah banyak memikirkan hal-hal keduniawian, memikirkan kematian dan kiamat dapat membantu kita melawan hawa nafsu dunia
5. Hindari terlalu banyak tertawa atau perkataan yang sia-sia, karena hal ini dapat mengeraskan hati
6. Ketika azan mengumandang, berhenti sejenak dari apa yang anda kerjakan. Dengar azan itu dengan khusyu', dan ulangilah kalimat muazzin. Ini dapat mempersiapkan hati dan pikiran kita untuk dapat khusyu' menjalankan shalat7. Bergegas untuk berwudhu dengan baik setelah mendengar azan. Lalu kenakan pakaian yang bersih dan rapi serta gunakan wewangian.
مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلَّاهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ
"Barangsiapa berwudhu untuk shalat dan dia menyempurnakan wudhunya. Kemudian dia berjalan untuk melakukan shalat wajib bersama orang lain atau berjamaah atau di masjid, Allah mengampuni dosa-dosanya.
8. Pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, berdoa dan berdzikir di sepanjang perjalanan, karena hal ini dapat mengusir godaan syetan dan dapat membantu mempersiapkan konsentrasi untuk shalat
9. Gunakan waktu sebelum shalat (setelah azan, sebelum iqamat) untuk mempersiapkan diri untuk shalat dengan berdoa dan berzikir.

10. Belajarlah bahasa arab, karena hal ini tentu saja dapat menambah kekhusyukan jika kita mengerti apa yang kita katakan dalam shalat

11. Mengetahui tata cara shalat sebagaimana yang dilakukan Nabi.
Ketika Shalat
1. Waktu iqamat itu merupakan kesempatan terakhir bagi kita untuk mempersiapkan diri untuk shalat. Hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya.2. Ketika menghadap kiblat, bayangkan:
a. Kegungan Dzat yang kita hadapi, Dia adalah Pencipta kita, Pemberi rezeki kita bahkan kehidupan kita. Kepada-Nya kita akan kembali.
b. Bahwa shalat yang akan kita laksanakan ini adalah shalat terakhir kita.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِظْنِي وَأَوْجِزْ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ
Seseorang datang kepada Nabi lalu berkata, "Nasihati aku dan ringkaslah nasihat itu." Rasulullah bersabda, "Jika kamu hendak shalatlah seperti shalat perpisahan dan berputus asalah dari (mengharapkan) apa yang ada di tangan manusia."
c. Bahwa kita sedang berdiri di depan Allah swt, bagaimana kita dapat sibuk memenuhi hati dan pikiran kita dengan hal-hal lain?
d. bahwa malaikat maut sedang mengejar kita.
3. Jangan lupa isti'adzah, karena ini dapat menghalau bisikan-bisikan syetan4. Ketika membaca Alfatihah, bayangkan jawaban Allah untuk setiap ayat yang kita ucapkan (ketika kita mengucapkan: Alhamdulillahi rab-bil 'alamin, Allah menjawab: Hambaku telah memujiku. Perasaan ini dapat membantu kita untuk khusyu'
5. Memperindah bacaan quran kita
6. Bacalah bacaan quran secara pelan dan resapi maknanya
7. Variasikan pilihan surat pendek yang kita baca ketika shalat. Jika membaca satu surat secara terus-menerus akan membuat kita membaca surat itu tanpa menghadirkan hati, tetapi hanya menggerak-gerakkan mulut

8. Berinteraksi dengan ayat alquran yang kita baca
9. Ketika sujud, ingatlah posisi ini dimana posisi kita paling dekat kepada Allah, berdoalah ketika dalam sujud ini
Setelah shalat
1. Berdzikir dan berdoa
2. Bersyukurlah kepada Allah
3. Tanamkan di dalam hati bahwa shalat berikutnya mesti lebih baik dari sholat sebelumnya
Menghilangkan Kendala Yang Dapat Mengganggu Kekhusyuan Shalat Berikut ini adalah berbagai cara yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kendala yang dapat mengganggu kekhusyuan shalat : 1. Menghilangkan sesuatu yang dapat mengganggu orang shalat Ketika Aisyah akan memasang tirai bergambar, Rasul melarang karena gambarnya dapat mengganggu dalam mengerjakan shalat. 2. Tidak shalat dengan memakai pakaian yang ada hiasan, tulisan, gambar, warna warni yang mengganggu orang lain 3. Jangan shalat sementara hidangan telah tersedia. Kita tidak akan shalat dengan khusyu karena hati kita akan teringat pada makanan itu. إِذَا حَضَرَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ"Jika makanan malam telah dihidangkan dan shalat Isya’ hendak didirikan, mulailah kalian shalat Isya.” 4. Jangan mengerjakan shalat sambil menahan kencing atau buang air besar 5. Jangan shalat dalam keadaan ngantuk Sabda Nabi: Bila salah seorang diantara kalian mengantuk, tidurlah sampai hilang kantuknya baru shalat 6. Tidak shalat dibelakang orang yang sedang bicara atau tidur Hal ini jelas dapat mengganggu konsentrasi, apalagi jika obrolan dilakukan dengan suara keras. 7. Tidak menyibukkan diri dengan meratakan kotoran (pasir, tanah, batu) pada tempat sujud. Hendaklah hal ini dilakukan sebelum sholat, bukan pada waktu sholat.

Wallahu A’lam

Bekal Dakwah Akhawat


Setelah wanita muslimah menjadi shalih secara pribadi. Beriman kepada Allah dan menegakkan syiar-syiar ibadah-Nya. Komitmen menjaga nilai-nilai dan manhaj-Nya dalam seluruh aktifitas hidupnya (buku 1). Ia harus berusaha menularkan keshalihan pribadinya kepada lingkungan sosial di sekitarnya. Menjadi seorang da’iyah. Inilah giliran berikutnya setelah hidayah itu bersemayam kuat di dalam lubuk hatinya dan ketentraman hidup di bawah naungan keimanan telah dirasakannya. Wanita muslimah hendaknya mulai menatap lingkungannya, melihat kebobrokan dan mengurai benang kusut permasalahan yang lazim dihadapi oleh manusia modern. Dengan dengan analisanya itu ia mulai merencanakan upaya perbaikan secara bertahap, berkesinambungan, dan menyeluruh. Sebagaimana proses penshalihan diri yang terjadi pada dirinya.
1. Bekal Akhlak
Islam bukan agama hanya asesoris dan simbol. Bukan hanya penampilan dan gaya. Seorang muslim harus melengkapi keindahan pakaian islaminya dengan pakaian pekerti. Hingga kepribadiannya lebih menarik dan simpatik. Lebih-labih sebagai seorang da’i dan da’iyah. Akhlak menjadi bekal yang sangat penting karena beberapa hal: Urgensinya badi kehidupan muslim dan muslimah, kelalaian banyak orang terhadap akhlak, dan hubungannya langsung dengan tugas dakwah. Di antara bekal akhlak yang mesti dimiliki seorang da’iyah adalah Kejujuran (As-Shidqu), Menepati Janji, Dermawan, Tawadhu’, dan Tidak Memalingkan Muka.
2. Interaksi dengan Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan interaksi di sini tidak sekedar membacanya secara rutin. Lebih dari itu agar seorang da’iyah mempunyai ikatan spiritual yang kokoh dengan Al-Qir’an yang terlihat dalam dua hal: Ketentraman jiwa di kala membaca hingga membuantnya berlari dari kegundahan dunia dan kesibukannya, keingingan kuat untuk merealisasikan ayat-ayat dan hukumnya dalam kehidupan nyata. Untuk itu seorang da’iyah mesti melakukan tiga hal:
1. Memahami Al-Qur’an yang dibacanya.
2. Mempelajari kandungan Al-Qur’an melalu kitab-kitab tafsir.
3. Komitmen terhadap Al-Qur’an dalam hal waktu, amal, dan pemikiran.
3. Interaksi dengan Sunnah
Sebagai sumber hukum kedua dan penjelas bagi Al-Qur’an. Seorang da’iyah mesti mempunyai tingkat interaksi dengan sunnah secara intens. Setelah memahami kedudukan hadits dalam Islam dan kebutuhan seorang muslim untuk berbekal dengan hadits-hadits Rasulullah. Ia harus mulai berinteraksi dengan sunnah Rasulullah secara intens dengan cara:
1. Meneliti dan melihat adat kebiasaannya sehari-hari. Adakah di antaranya yang tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah.
2. Menjadikan Nabi sebagai teladan.
3. Segera mengamalkan sunnah yang sanadnya shahih.
4. Mengajak orang lain untuk menjadikan sunnah sebagai pedoman hidup.
4. Memulai Tugas Dakwah
Dakwah merupakan tugas setiap muslim dan muslimah sebatas kemampuan yang diberikan Allah. tugas dakwah tidak semata demi kepentingan ‘orang lain’, tapi untuk kebutuhan ‘diri sendiri’. Dakwah ini akan terus bergulir dan akan ada orang-orang yang setia mengembannya sampai hari Kiamat, dengan atau tanpa kita. Jadi, kita perlu bergabung dengan kafilah dakwah untuk mendapatkan keberkahan dakwah dan keberkahan jamaah.
Setelah kita mempunyai keyakinan tentang kewajiban dakwah, kita harus tanam keyakinan itu hingga menjadi kemauan kuat untuk menyampaikan Islam kepada orang lain. Setelah itu siapkan langkah-langkah da’awi sebagai berikut:
1. Memilih calon objek dakwah (mad’u).
2. Menentukan sasaran.
3. Menentukan metode (hadiah, kunjungan, bantuan).
4. Memberi keteladanan.
5. Menjauhi hal-hal yang kurang simpatik (menggurui, sombong, membicarakan diri sendiri, menggunjing, membual, emosional, dan kikir).
6. Tasamuh.
7. Iltizam.
Kita tidak sendiri jalan ini, ada banyak orang yang melintasi jalan jauh sebelum kita. Para nabi dan rasul telah lebih dahulu melewati jalan ini. Bahkan tidak hanya kaum laki-laki, kaum wanita pun bahu membahu bersama untuk mengemban rugas kenabian ini. Sejarah telah mencatat banyak barisan kaum wanita yang mempersembahkan seluruh potensi yang mereka miliki demi tugas mulia ini. Mulai zaaman sahabiyah hingga dewasa ini. Jadi, jika mengalami kegagalan, sungguh mereka telah mengalami hal yang sama, bahkan mungkin lebih pahit dari kegagalan yang kita rasakan.
4. Menyikapi Kegagalan dalam Dakwah
Tentu saja kegagalan yang dimaksud adalah kegagalan dalam tataran realisasi dari semua program dan langkah dakwah yang telah kita rencanakan. Asal tetap komitmen terhadap nilai-nilai Islam, menjaga keikhlasan, menempuh sarana yang baik, dan tujuan yang mulai, seorang da’i dan da’iyah tidak pernah mengalami kegagalan. Meskipun untuk itu harta dan jiwanya terenggut. Sebab tujuan dakwahnya hanya dua dan ia akan mendapatkan, paling tidak salah satunya; kemenangan atau mati syahid. Kegagalan manusiawi tentu akan dihadapi seorang da’iyah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengobati ‘luka hati’ ini. Agar tidak larut dalam kesedihan dan kembali termotivasi melakukan aktifitas dakwah kembali.
1. Evaluasi
2. Menghibur diri
3. Meninggalkan objek dakwah.
4. Tidak Menyerah.
5. Rintangan Dakwah
Mengetahui rintangan dakwah akan menyiapkan mental seorang da’iyah untuk mengarungi medan dakwah. Agar ia selalu bersikap waspada untuk menempuh jalan paling aman demi mencapai tujuan. Di antara kendala dakwah adalah:
1. Orang-orang di sekitar kita
2. Kehidupan modern.
3. Kecenderungan jiwa.
6. Panduan Meningkatkan Kualitas Diri
Hidup perlu diatur dan dijalani dengan strategi yang sistematis. Tindakan yang dilakukan tanpa bekal dan persiapan yang matang akan menghasilkan penyesalan. Jikapun setelah direncanakan dengan baik ternyata masih gagal dan jatuh, cara untuk bangkit kembali relatif lebih mudah. Dan keberhasilah selalu berpihak kepada strategi yang matang dan persiapan yang memadai. Ada beberapa strategi persiapan diri yang perlu diterapkan oleh seorang da’iyah agar ia mempunyai kesiapan yang memadai.
1. Aspek ruhiyah. Dengan upaya tazkiyatun-nafs. Berkawan dengan orang shalih, membaca buku-buku pelembut hati, dan amal ibadah.
2. Aspek fikroh. Baik fikroh Islam yang diembannya juga fikroh lain. Mengetahui fikroh yang berseberangan sangat penting agar bisa melakukan tindakan antisipatif dan preventif.
3. Aspek harakah. Yakni dengan cara mengaktualisasikan nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Agar Islam menjadi rahmat bagi alam semesta.
Wallahu A’lam.

Jumat, 02 Mei 2008

Iman Kepada hari Kiamat


Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuhu
اَلْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
Amma ba'du…
Hadirin sekalian rahimakumullah
Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah. Yang telah melimpahkan segala nikmat karunia-Nya kepada kita sehingga kita dapat menunaikan tugas-tugas kita selaku hamba Allah. Shalawat dan salam untuk junjungan kita, nabi besar Muhammad saw. Seorang nabi akhir zaman yang kita cintai dan kita bela agamanya, kita pelihara ajarannya, dan kita amalkan sunnahnya. Semoga kita senantiasa mendapat bimbingan dari Allah agar selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya sampai akhir hayat.
Hadirin sekalian rahimakumullah…
Tentu kita ingat dan masih hapal tentang rukun Iman, yaitu:
1. Iman kepada Allah
2. Malaikat Allah
3. Iman kepada kitab-kitab Allah
4. Iman kepada rasul-rasul Allah
5. Hari Kiamat
6. Qadha dan qadar Allah
Kewajiban kita selaku orang beriman adalah beriman kepada semua itu, tidak dipisah-pisah dan tidak dipilah-pilah. Tidak boleh seorang mukmin iman kepada salah satu dan ingkar kepada yang lain. Termasuk kewajiban untuk beriman kepada hari Kiamat.
Iman kepada hari Kiamat menuntut kita agar percaya sepenuh hati bahwa kehidupan dunia ini tidaklah kekal abadi. Semua peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan ini tidak ada yang abadi, semuanya fana dan ada masa berakhirnya. Kebahagiaan atau kesusahan, tidak ada yang kekal.
Kehidupan dunia ini akan berakhir dengan apa yang disebut hari Kiamat. Suatu hari dimana bumi dan seisinya akan dihancurkan, langit dibelah, gunung diledakkan, laut dimuntahkan, bintang, planet, semua hancur berantakan. Dengarkan Allah mengisahkan kejadian itu.
èptãÍ‘$s)ø9$# ÇÊÈ $tB èptãÍ‘$s)ø9$# ÇËÈ !$tBur y71u‘÷Šr& $tB èptãÍ‘$s)ø9$# ÇÌÈ tPöqtƒ ãbqä3tƒ â¨$¨Y9$# ĸ#txÿø9$$Ÿ2 Ï^qèZ÷6yJø9$# ÇÍÈ ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ
1. hari kiamat,
2. Apakah hari kiamat itu?
3. tahukah kamu Apakah hari kiamat itu?
4. pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
5. dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Dengrkan pula cerita yang lain,
#sŒÎ) âä!$yJ¡¡9$# ôNtsÜxÿR$# ÇÊÈ #sŒÎ)ur Ü=Ï.#uqs3ø9$# ôNuŽsYtGR$# ÇËÈ #sŒÎ)ur â‘$ysÎ7ø9$# ôNtÉdfèù ÇÌÈ #sŒÎ)ur â‘qç7à)ø9$# ôNuŽÏY÷èç/ ÇÍÈ
1. apabila langit terbelah,
2. dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,
3. dan apabila lautan menjadikan meluap,
4. dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,
Mungkinkah itu terjadi?
Ya, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah…
Allah yang menciptakan alam semesta ini dari tidak ada menjadi ada, maka Allah Maha mampu untuk menghancurkannya
Allah yang membuatkan kehidupan dunia ini maka Allah juga mampu mengakhirinya
Seperti Allah yang menciptakan manusia Allah juga yang mematikan mereka…
Lihatlah tanaman yang hijau dan subur di luar sana, dengan daun-daun yang rindang dan buah-buahan yang segar. Tidakkah pada musim kemarau tanaman itu kering dan layu, bahkan ada yang mati. Lihat pula rumput-rumput itu, kalau tidak ada air yang menyiraminya ia akan kering dan tidak ada wujudnya. Allah yang menumbuhkan tumbuhan, rumput, dan tanaman itu dari tidak ada sama sekali. Maka Allah mampu membinasakannya dan mengembalikannya menjadi tidak ada
Bagi kita orang beriman, kehidupan dunia ini, betapapun menarik dan menyenangkannya, tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Karena kehidupan akhirat lah yang kekal abadi, yang tiada akhir dan kesudahannya.
Oleh karena itu marilah kita tingkatkan iman dan takwa dengan melakukan amal shalih, menuntut ilmu, dan berbuat baik kepada orang lain sebagai bekal kita menghadapi kehidupan hari akhir kelak. Agar kita selamat dan siksa neraka dan berhasil menghuni surga Allah Ta'ala.
Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya mohon maaf
Wassalamu alaikum warahmatullah wabarakatuhu
(Pidato Ahmad Aqil)

Kamis, 01 Mei 2008

LELAH


Ya Allah
Sejuta noda sepenuh nista
Hampa hempaskan di samodra-Mu
Selaksa cita seonggok harap
Bolehkah hamba labuhkan di dermaga-Mu
Jangan beri hamba koma beri hamba titik
Hamba lelah mengeja bait-bait-Mu
Rabbi
Hamba berenang di keringat sendiri
Hamba mendaki gunung daki
Mencari titik-Mu
Di rongga paus Yunus hamba mencari
Di perahu Hidzir hamba menyisir
Di badai Luth
Di petir
Di haus
Di asap
Asal Kau tidak murka
Hamba tidak peduli

Kamis, 10 April 2008

Hasan Al-Bashari


Lahir 2 tahun sebelum akhir masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab ra. Ia tidak termasuk sahabat Rasulullah, tetapi tingat ketakwaannya, kecerdasannya, kefaqihannya, sifat wara’ dan zuhdnya, setaraf dengan para sahabat Rasulullah. Salah seorang sahabat (yang empat hidup pada masanya) berkata, “Andaikan Hasan Al-Bashris empat hidup pada masa sahabat Rasulullah tentu mereka (para sahabat butuh pendapatnya).
Ibu Hasan Al-Bashri adalah pembantu Ummu Salamah, istri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Para ahli sejarah menghubungkan kefasihannya dalam berbicara dan kecerdasannya dengan penyusuannya kepada Ummu Salamah.
Hasan Al-Bashri dibesarkan di Wasi Al-Qura, biasa bergaul dengan Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan sejumlah sahabat Rasulullah lain. Beliau menerima hadits dari mereka. Perkembangannya sangat pesat sehingga banyak pandangan mata tertuju kepadanya karena keindahan takwil dan ketelitian pehamannya terhadap Al-Qur’an. Beliau hidup sebagai ahli ibadah, wara’, takwa, shalat wajib tepat waktu, dan mengirinya dengan shalat sunnah, puasa sunnah, dan tidak mencukur jenggot, dan memakai surban hitam untuk meneladani Rasulullah pada hari Penakhlukkan Mekah.
Ketinggian ilmu dan pemahamnnya terhadap agama mencapai tingkat tinggi ketika beliau berada di Mekah. Banyak orang bertanya kepada beliau tentang berbagai masalah agama yang tidak dikuasai mereka. Dalam hal ini ulama Mekah dan tokoh pilihan mereka berkata, “Kami belum tahu hal semacam itu sama sekali. Pendapatnya menyerupai pendapat Umar bin Al-Khatthab.
Sebagian dari masalah yang sering dibicarakannya dalam majlis ilmiah yangs esuai dengan hadits Rasulullah adalah, “Hai anak Adam, janganlah kamu rela dengan murka Allah. janganlah kamu taan kepada seseorang untuk bermaksiat kepada Allah. Janganlah kamu memujis seseorang di atas keutamaan Allah. dan janganlah kamu menecerca seseorang yang tidak memberimus sesuatu. Sesungguhnya Allah Pencipta sekalian alam. Laluilah hidupnya ssuai dengan yang diciptakannya kepada mereka. Barangsiapa menyangka bahwa Allah akan menambahnya kaya karena ketamakannya maka usianya ditambah karena karena ketamakannya. Begitulah dengan warna kulit dan segenap anggota tubuhnya.”
Hasan Al-Bashri selalu menjaga kebersihan hatinya dengan berdoa kepada Allah setiap selesai dari percakapannya dan berdiri dari majlisnya. ‘Ya Allah, sucikanlah hati kamid ari sikap sombong, nifak, riya’, ingin popule, syak, dan wawas terhadap agama-Mu. Wahai yang memblak-balikkan hati, tehkanlah hati kami terhadap agama-Mu. Tetapkanlah bagi kami agama Islam.
Beliau pernah ditanya mengenai akhlak ahli fiqih, “Seorang fakih adalah orang yang tida k mengambil upah atas ilmuinya. Tidka mempedulikan keadaan orang yang diatasnya, dan tidak merendahkan keadaan orang yang ada di bawahnya.
Hasan Al-Bashri selalu menjaga persatuan dan kasih sayang ummat Islam. sebab beliau memandang bahwa perdamaian antar putra-putra ummat Islam merupakan nikmat yang termahal dari Allah. Kasus Hajjaj At-Tsqafi yang terkenal sebagai orang yang selalu menumpahkan darah kaum Muslimin tanpa rasa kasihan. Membunuh musuh-musuhnya tanpa melalui keputusan mahkamah. Membelanjakan kekayaan ummat Islam ke jalan yang dimurkai Allah.
Di sini para ulama ingin sekali membunuhnya tapai beliau mencegahnya dan berkata, “Janganlah kamu membunuhnya kecuali jika ia menyatakan kufur kepada Allah dan mengingkari sati dari berbagai sendi-sendi agama yang pokok. Metode bepikir seperti ini membuat ulama yang hisup pada masanya, menjalankan dakwah dengan penuh toleransi, persatuan, dan kasih sayang di antara kaum Muslimin.
Begitulah Hasan Al-Bashri (ahli fiqih, ahli ibadah, dan zuhud. Hidup dengan ajakan cinta dan damai di tengah-tengah ummat pada masanya.
Lidahnya tidak bergerak kecuali dengan zikir dan kakinya tidak berjalan kecuali melalui jalan keridhannya. Jantungnya tidak berdetak kecuali dengann cinta kepada Allah. Beliau hidup untuk Allah dan karena Allah sampai wafatnya. Semoga Allah memberinya rahmat dan ampunan kepada beliau.

Senin, 07 April 2008

MENANTI QIYADAH RABBANIYAH


Salah satu solusi Islam bagi persoalan Palestina adalah menjadikannya sebagai issu sentral (qadhiyyah markaziyyah). Tidak hanya mencakup wilayah regional bangsa Palestina atau Dunia Arab yang hingga kini tidak berdaya melawan hegemoni bangsa Yahudi. Sebuah issu global yang mencakup ummat Islam di seluruh penjuru dunia dan seluruh gerakan Islam.

Sentralisasi issu ini bukan rekayasa manusia atau bangsa Palestina untuk menggeralisir persoalan mereka agar mendapatkan simpati dunia. Jauh sebelum itu, dan dari langit ke tujuh Allah telah menjadikan persoalan Palestina dan Baitul Maqdis sebagai issu global. Setidaknya Allah menyebutkan Palestina dalam enam ayat Al-Qur’an. Ada beberapa indikasi bahwa persoalan Palestina dan Masjidil Aqsha adalah persolan semua ummat Islam

Pertama, Allah menjadikan bumi Palestina sebagai bumi yang diberkahi. Sebagaimana yang difirmankan dalam dua ayat (71 dan 81) dari surat Al-Anbiya’.
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.” (Al-Anbiya’: 71)
“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anbiya’: 81)

Kedua, Allah menjadikan Baitul maqdis sebagai tempat suci. Setelah Allah memerintahkan Ibrahim dan Ismail untuk memugar bangunan Ka’bah sebagai tempat beribadah kepada Allah, empat puluh tahun kemudian Allah memerintahkan Dawud untuk membangun masjid Al-Aqsha dengan fungsi yang sama, tempat manusia beribadah kepada Allah. Bagi semua manusia dan bukan bangsa Palestina semata.

Ketiga, bahwa bumi Palestina adalah milik Ibrahim. Dan Allah tidak membatasi pewarisannya kepada bangsa dan kaum tertentu, tapi semua orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala. Allah berfirman,

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 67-68).

Allah menentukan nabi Muhammad dan orang-orang beriman bersamanya sebagai pewaris agama Ibrahim berikut negerinya.

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” (Al-Anbiya’: 105).

Adz-Dzikr yang dimaksud adalah Taurat dan bumi yang dimaksud adalah bumi Palestina.

Jadi, persoalan Palestina dengan Al-Quds dan Masjidil Aqshannya bukan persoalan orang-orang Palestina dan bukan issu regional. Namun ia adalah persoalan sentral seluruh kaum Muslimin.

Ketika Rasulullah menjalani peristiwa Isra’ dan Mi’raj, semua nabi dikumpulkan di Masjidil Aqsha dan beliau sebagai imam mereka. Sebuah simbol pewarisan bumi Palestina kepada nabi terakhir, Muhammad saw. beserta pengikutnya.

Semenjak itu beliau mencurahkan segenap perhatiannya untuk Masjidil Aqhsa. Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, “Bahwa Rasulullah tidak tidur sampai beliau membaca surat Az-Zumar dan Bani Israil.”

Sebab surat Bani Israil atau Al-Isra’ berbicara banyak tentang Palestina dan Masjidil Aqsha. Jika surat Al-Isra turun sebelum hijrah dan peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi tiga tahun sebelum hijrah, artinya tiga belas tahun beliau memberikan perhatian dan perjuangan untuk Palestina dan Masjidil Aqsha.

Beliau memberi perhatian kepada Baitul Maqdis pada siang dan malam.

Allah telah menjadikan persoalan Palestina sebagai issu sentral kaum Muslimin. Sebagai pengikut Muhammad, hendaknya kaum Muslimin menjadikan puncak perhatian dan perjuangan mereka adalah membebaskan bumi Palestina dan cengkraman imperialisme Yahudi.

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31).

Perhatian Rasullullah kepada Palestina tidak terbatas pada tataran teori atau retorika. Beliau tunjukkan perhatiannya dalam tataran amal dan jihad. Sebagian besar perang dan delegasi militer yang beliau kirim mengarah ke Baitul Maqdis. Di antaranya perang Mu’tah dan perang Tabuk yang beliau pimpin sendiri. Bahkan, sebelum meninggal beliau menyiapkan pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk berangkat menuju Palestina dengan tujuan membebaskan Masjidil Aqsha. Akhirnya rencana itu direalisasikan Abu Bakar.

Mengapa gerakan Islam tidak memandang masalah Palestina sebagai issu sentral? Mengapa Dunia Islam membiarkan bangsa Palestina berjuang sendirian. Mengapa di antara 400 ribu kader PKS tidak ada sepuluh orang pun yang berjuang untuk membebaskan Masjidil Aqsha? Yang mencurahkan segenap perhatian, usaha, dan pengorbanan untuk Masjidil Aqsha?

Qiyadah Rabbaniyyah
Palestina hanya mungkin bisa dibebaskan oleh para qiyadah rabbaniyah dan tentara rabbani. Jika kita membaca Al-Qur’an, sunnah, dan sejarah. Palestina pernah dibebaskan selama tiga kali.

Pertama oleh Thalut dan Dawud sebagaimana yang dikisahkan surat Al-Baqarah. Yang kedua oleh para sahabat pada zaman kekhalifahan Umar bin Khatthab. Dan yang ketiga oleh Shalahuddin Al-Ayyubi.

Ketiga periode pembebasan dan ketiga generasi qiyadah tersebut memiliki syarat dan sifat yang sama. Tiga karakter utama yang mereka adalah; Allah memilih mereka (ishthafa), kekuatan ilmu (basthatun fil ilmi), dan fisik (basthatun fil jasad). Allah berfirman,

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?’ (Nabi mereka) berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247).

Ishthifa’
Sifat pertama dan asasi ini dimiliki seseorang manakala ia memiliki kedekatan dengan Allah dengan kuantitas dan kualitas ibadahnya. Meleburkan diri dan semua usahanya dalam kancah ibadah kepada Allah. Maryam adalah wanita pilihan Allah karena ketaatan dan ibadahnya kepada Allah.

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (Ali Imran: 42).

Maryam memiliki sifat-sifat rabbani yang terwujud dalam ketaatan, sujud, dan ruku’nya. Di surat yang sama ayat 37 Allah mengisyaratkan kontinuitas ibadah Maryam di dalam mihrab Masjidl Aqsha dengan kosa kata ‘kullama’ yang berarti banyak dan sering. Ia sering berada di mihrab untuk beribadah kepada Allah.

Nabi Musa dipilih Allah karena memiliki ciri-ciri rabbani. Setelah Musa menerima janji dari Allah untuk beribadah selama tiga puluh malam lalu digenapkan dengan empat puluh malam (Al-A’raf: 142). Setelah itu Allah berfirman,

“Allah berfirman, ‘Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Al-A’raf: 144).

Nabi Dawud menjadi qiyadah setelah terlebih dahulu memiliki ciri-ciri rabbani. Di antara warisan ibadah yang kemudian diabadikan dalam sunnah Muhammad saw. adalah puasa sunnah dan qiyamul-lail. Rasulullah saw bersabda,

“Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat (malam) yang disukai Allah adalah shalatnya Dawud, ia tidur separonya, shalat sepertiganya, dan tidur seperenamnya.” (Bukhari).

Dengan sifat-sifat rabbani inilah nabi Dawud mendapatkan tiga kemuliaan, qiyadah, kenabian, dan kerajaan. Bersama Thalut dan tentaranya yang berjumlah 314 pasukan dapat mengalahkan pasukan Jalut yang lebih besar jumlah mereka. Jumlah yang sama saat kaum Muslimin mengalahkan orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar.

Sifat-sifat rabbani inilah yang asasi sementara kedua sifat yang lain sekunder. Pertolongan Allah akan turun manakala qiyadah dan jundiyah memiliki sifat-sifat rabbani. Kendatipun secara kuantitas jumlah mereka sedikit. Terbukti di antara sekian banyak tentara Thalut, yang lulus ujian ‘air sungai’ hanya sedikit, sementara yang lain berpaling dari kancah perang.

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249).

Kesalahan yang dilakukan banyak gerakan Islam adalah ketika mereka memprioritaskan faktor-faktor sekunder ketimbang sifat-sifat asasi. Saat kapabelitas, kekuatan pribadi, ilmu, spesifikasi, pengalaman (basthatun fil ilmi), kemampuan manajerial (basthatun fil jasad) menjadi prasyarat utama untuk menentukan siapa yang berhak menempati jabatan tertentu dalam dakwah, politik, ekonomi, dan lain-lain. Akibatnya, terjadilah fitnah di dalam barisan dakwah, cinta dunia, dan perpecahan internal tak terelakkan lagi. Akhirnya, lemahlah kekuatan dan gagal mencapai tujuan.

Lawan-lawan Islam mempunyai banyak keunggulan SDM dan dana. Jika gerakan Islam tidak memprioritaskan sifat-sifat rabbani, maka dengan apa bisa dibedakan dari qiyadah lawan-lawannya? Dan dengan apa dapat mengungguli mereka?

Adalah generasi As-Sabiqunal Awwalun dari para sahabat Nabi. Di mana mereka melakukan Tadrib Rabbani dalam shalat malam semalam penuh sampai setahun lamanya. Ternyata mereka menjadi qiyadah tangguh dan tidak goyah di saat fitnah banyak menimpa.

Ibnu Umar menuturkan bahwa ia mempunyai kebiasaan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga hari dalam qiyamul lail. Sama dengan yang dilakukan Abu Bakar.

Lalu, dengan sifat yang sama qiyadah dan jundiyah yang akan membebaskan Al-Aqsha untuk keempat kalinya. Seperti sifat-sifat yang dimiliki Thalut beserta Dawud, sahabat pimpinan Umar, dan Shalahuddin Al-Ayyubi. Allah berfirman,

“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (Al-Isra’: 5).

Orang-orang yang mempunyai kekuatan besar dan meraja lela di kampung-kampung itu adalah mereka yang memiliki sifat-sifat ubudiyah (ibadan lana). Dan tanpa sifat-sifat ubudiyah itu mereka tidak akan memiliki kekuatan yang besar dan meraja lela di kampung-kampung.

Orang-orang yang membebaskan Masjidil Aqsha dan berada di barisan depan mengusir Zionis adalah Rabbanitun dan Rabbaniyat. Mereka biasa mendengar perkataan (Allah) dan selalu mengikuti yang terbaik. Rasulullah mengajarkan doa kepada kita,

اَللَّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَكَ
“Ya Allah, angkatlah orang pilihan-Mu sebagai pimpinan kami.”
(Disadur dari ceramah DR. Othman Rushdi)
Wallahu A’lam.

Sabtu, 05 April 2008

Kisah Umar dan Sha'sha'ah


Abu Musa Al-Asy'ari mengirim uang zakat sebesar 1 juta Dirham kepada Umar bin Khathab. Setelah kiriman itu sampai, Umar langsung membagi-baginya kepada yang berhak menerimanya. Ternyata masih ada sisa, orang-orang pun berbeda pendapat, kepada siapa sisa itu hendak dibagi.
Umar mengumpulkan orang-orang dan berpidato,
"Wahai sekalian manusia, setelah harta dibagi kepada orang-orang yang berhak, ternyata masih ada sisa. Aku ingin meminta penadapat kalian dan apa usulan kalian?"
Sha'sha'ah, yang kala itu masih anak-anak, berkata. Tentu saja setelah meminta izin Amirul Mukminin, Umar,
"Orang itu meminta pendapat kepada yang lain kpada permasalahan yang di dalam Al-Qur'an tidak ada. Ketika ada di dalam Al-Qur'an, dan setelah dibagi kepada orang-orang yang berhak, berikan kepada siapa saja yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla."
Amirul Mukminin berkata,
"Kamu benar, Sha'sha'ah. Kamu bagian dariku dan aku bagian darimu."
Dan Umar pun membaginya kepada kaum Muslimin.

Masyarakat Yang Dicintai Allah


Setiap manusia mempunyai cita-cita, target, dan impian yang didambakan dalam hidupnya. Untuk itu ia mengerahkan segala potensi dan upayanya demi meraih cita-cita dan harapannya tersebut. Bahkan, demi sebuah prestasi yang diimpikannya ia rela tidak mengindahkan nilai dan norma-norma yang berlaku. Lebih ironis lagi ada yang rela menyakiti dan mengorbankan orang lain demi ambisinya.
Orang beriman menjadikan puncak cita-cita dan harapannya adalah meraih ridha dan cinta Allah. Maka ia mengerahkan segala potensi demi meraih cita-cita itu. Di dalam sebuah hadits Qudsi Rasulullah saw.meriwayatkan firman Tuhannya,
"Pastilah akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena-Ku. Pastilah akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang menyambung kekeluargaan karena-Ku. Pastilah akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling menasihati karena-Ku. Dan pastilah akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling member karena-Ku. Orang-orang yang saling mencintai karena-Ku akan mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya. Yang membuat iri para nabi, orang-orang jujur, dan para syuhada."
Hadits di atas diriwayatkan Imam Ahmad di Musnad-nya dan Imam Malik di Al-Muwaththa'-nya.
Hadits ini juga menjadi dasar bagi tegaknya sebuah masyarakat yang saling mencinta, saling menyambung silatur-rahim, saling menasihati, dan saling membantu antar sesama mereka karena Allah semata. Dan jika nilai-nilai tersebut ditegakkan dalam tataran kehidupan berkeluarga, persahabatan, dan sosial. Tentu akan terwujud keluarga da masyarakat yang kuat, solid, saling peduli dan saling membatu antar sesama karena Allah. Yang karena itu mereka berhak mendapatkan cinta Allah.
Cinta sejati seorang mukmin kepada saudaranya lahir dari keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ikatan keimanan bersifat baka dan permanen, sedangkan ikatan lain selain keimanan bersifat fana dan sementara. Hati tidak bisa dipautkan oleh dunia dan harta (QS 8:63). Selain mendapatkan cinta Allah, orang-orang yang saling mencintai karena-Nya juga akan mendapatkan kelezatan iman dan naungan di hari dimana tidak ada naungan selain naungan Allah.
Jalinan cinta kasih sesama orang beriman harus dirawat. Dan jika ada gejala-gejala gangguan atas jalinan itu harus dicarikan solusinya. Silatur-rahmi adalah sarana untuk memelihara keutuhan cinta sekaligus sebagai terapi jika ada borok di dalamnya. Imam Nawawi di Syarah Shahih Muslim mengatakan, Silatur rahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi orang yang bersilatur-rahmi dan disilatur-rahmi. Kadangkala dengan materi dan kadangkala dengan pelayanan. Juga kadangkala dengan mengunjungi atau mengucapkan salam.
Nasihat menasihati juga sebagai sarana merawat cinta kasih. Nasihat disampaikan ketika terjadi penyimpangan dari nilai-nilai Allah atau untuk menguatkan agar tetap berada pada nilai itu. Budaya nasihat menasihati perlu ditegakkan di dalam masyarakat kita. Dahulu, orang-orang shalih biasa datang ke ulama untuk meminta nasihat. Bahkan para raja dan khalifah sengaja mendatangkan ulama untuk meminta nasihat.
Nasihat harus tulus disampaikan karena mengharapkan ridha Allah. Agar kesombongan dan merasa lebih baik tidak merasuk ke dalam diri penasihat dan agar yang dinasihati tidak merasa berhutang budi dan lebih hina. Baik penasihat atau yang dinasihati adalah partner bagi tegaknya amal saling menasihati
Saling membantu dan tolong menolong adalah keniscayaan dalam masyarakat. Karena secara sunnatullah kondisi masing-masing orang tentu berbeda-beda. Susah dan senang, beruntung dan tida beruntung, kaya dan miskin, kenyang, lapar, sehat , sakit. Jika hal itu dilakukan karena cinta kepada Allah, maka akan terjadi tadhamun ijtima'i (jaminas sosial) bagi anggota masyarakat.
Selain masyarakat itunampak sangat harmonis, tenggang rasa, saling menghormati, saling peduli. Allah juga mencintai mereka dan para malaikat pun mendukung mereka. Dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda,
"Barangsiapa menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, malaikat memanggil seraya berkata, 'Bagus kamu dan bagus pula perjalananmu. Lalu kamu akan menempati suatu tempat di surga.'" (HR Tirmidzi).